SEJARAH DAN ASAL-USUL KOTA KLATEN

Makam Kyai Mlati Pendiri KlatenAda dua versi yang menyebutkan tentang asal mula nama Klaten, versi yang pertama menyebutkan bahwa kata Klaten berasal dari kata Kelati atau buah bibir. Kemudian seiring perjalanan waktu kata kelati ini mengalami disimilasi menjadi Klaten.
Versi kedua beradasarkan kata orang tua terdahulu dan turun temurun yang dikutip dalam buku berjudul “Klaten dari Masa ke Masa” yang diterbitkan Bagian Ortakala Setda Kab. Dati II Klaten Tahun 1992/1993.

Versi kedua ini menyebutkan bahwa Klaten awal mulanya berasal dari kata Melati, Melati adalah nama seorang Kyai yang datang dan menetap ke tempat yang masih hutan belantara (sekarang menjadi kota Klaten) kurang lebih 560 tahun yang lalu, dan semakin lama orang semakin berdatangan dan berkembang hingga menjadi kota Klaten seperti sekarang ini.

Nama lengkap Kyai Melati adalah Kyai Melati Sekolekan. Dan nama dukuh tempat tinggal Kyai Melati oleh masyarakat kemudian diberi nama dukuh Sekolekan (sekarang menjadi Sekalekan), nama Sekolekan adalah bagian dari nama Kyai Melati Sekolekan.
Kyai Melati dikenal sebagai seorang yang berbudi luhur dan sakti, karena kesaktiannya tersebut perkampungannya selalu aman dari perampok.
Setelah meninggal dunia Kyai Melati dimakamkan di dekat tempat tinggalnya.
Makam Kyai Mlati terletak di pusat kota Klaten, tepatnya d JL. Anggrek, Sekalekan, Klaten. Mungkin belum banyak orang yang tau tentang makam kyai melati ini, makam kyai melati ini dikeramatkan oleh warga sekitar karena merupakan asal mula dari klaten sendiri
Di komplek makam Kyai Mlati ini terdapat banyak makam tua. Tapi yang satu petak dengan makam Kyai Mlati terdapat tiga makam yaitu makam Kyai Mlati dan Istrinya, dan makam adek dari Kyai Mlati. Dan di dekat makam tersebut ada pohon yang dikeramatkan juga. Jika dilihat secara sekilas kompleks Makam Kyai Mlati tersebut memang seperti tidak terurus.
Makam Kyai mlati juga hanya diselimuti kain kafan, tidak seperti makam yang lainnya. Makamnyapun tidak seperti makam jaman sekarang, tapi hanya seperti batu bata yang di susun saja. Makam itu memang dibiarkan seperti itu, agar terlihat alami dan masih ada unsur sejarahnya.
Makam Kyai Mlati
Sebenarnya sudah banyak orang yang tahu akan makam Kyai mlati ini. Kebanyakan orang yang datang ke Makam Kyai Mlati ini untuk mohon doa. Menurut kepercayaan orang yang datang kesana, akan terkabul. Tak sembarang orang juga yang memohon doa di makam tersebut. Biasanya orang-orang berdoa disana untuk mendapatkan jabatan, untuk kelulusan ujian, jodoh dan segala macam yang mereka inginkan. Tapi sebelumnya harus percaya dulu dan melakukan ritual kejawen.
Hingga sekarang sejarah kota Klaten masih menjadi silang pendapat, belum ada penelitian yang menyebutkan kapan persisnya kota Klaten berdiri, selama ini peringatan hari jadi kota Klaten diambil dari hari jadi pemerintahan Kabupaten Klaten.
Sumber : PRISTASIANA

REKOMPAK JRF SUKSES BERKAT SWADAYA MASYARAKAT

Klaten - Swadaya masyarakat Desa Kebon, Kecamatan Bayat sangat tinggi dalam waktu setengah tahun mulai Januari 2010 sampai Mei 2010 bisa mengumpulkan dana 108 Juta guna menunjang Rekompak JRF (Proyek Rehabilitasi dan Rekontruksi Masyarakat dan Pemukiman Berbasis Komunitas-Java Recontruction Fund) yang dibiayai Bank Dunia.
Sukaca, Selaku Kepala Desa Kebon mengatakan bahwa swadaya masyarakat merupakan bukti nyata antusias dan keiklasan warga dalam mensukseskan Rekompak JRF yang dibiayai oleh World Bank. Swadaya ini berwujud hibah tanah maupun bangunan yang terkena proyek, tenaga lapangan, dan iuran warga yang keseluruhannya senilai 108 juta rupiah. Dari hibah tanah maupun bangunan tercatat sebanyak 28 warga desa Kebon merelakan dan menghibahkan tanahnya untuk proyek Rekompak JRF.
Untuk tahap pertama ini World Bank memberikan bantuan dana sebesar 350 juta. Bantuan ini telah di implementasikan oleh warga untuk membangun sarana infrastruktur desa yang berupa pembangunan jalan desa, selokan dan talud desa.

DESA PENGHASIL BATIK TULIS RAMAH LINGKUNGAN


Batik Desa Kebon yang menggunakan pewarna alami
Batik merupakan salah satu karya seni terkemuka di seluruh nusantara dan telah menjadi kegiatan produksi yang penting di beberapa kota di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Perindustrian, pada tahun 2009 terdapat 28,287 UKM batik di Inonesia yang mempekerjakan 792.286 tenaga kerja.

Suksesnya pedagangan batik di Indonesia menimbulkan persoalan lingkungan sendiri karena industri batik setiap tahunnya memproduksi kadar emisi CO2 yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan sektor UKM lainnya dengan mengkonsumsi bahan bakar minyak tanah, zat kimia pemutih secara berlebihan sehingga memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.
Desa Kebon yang terletak di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, merupakan salah satu sentra batik tulis dengan menggunakan pewarna alam. Sebelum gempa DIY-Jateng 2006, sebagian pembatik di desa ini menjadi buruh batik ditempat usaha batik yang telah memiliki nama di kota-kota besar, seperti Jogja dan Solo. Akan tetapi setelah gempa, sebagian besar dari mereka kembali ke desa dan hanya melakukan pembatikan apabila ada order dari para pengusaha di kota-kota besar.

Workshop Teknologi Tepat Guna Program CBI di Ds Kebon, Klaten


Dua hari setelah  Technical Consultant (TCs) program CBI mendapatkan transfer knowledge penerapan Teknologi Tepat Guna dalam ToT – B, pada tanggal 3 September 2010 dilaksanakan workshop - B di Desa Kebon, Bayat, Klaten. Workshop - B ini merupakan lanjutan dari workshop sebelumnya yang bertujuan untuk memberikan informasi beberapa alternatif teknologi tepat guna yang dapat di terapkan di IKM batik untuk mendukung eko efisiensi.
Materi yang diberikan dalam workshop tersebut disesuaikan dengan permintaan dan kondisi IKM batik setempat yaitu efisiensi penggunaan air, penggunaan kembali larutan zat warna bekas, zat warna alam, optimasi alat pencelupan warna, kompor listrik untuk pembatikan, alat recovery lilin batik dan pengelolaan limbah batik secara sederhana. Selain itu peserta workshop diberikan demo penggunaan kompor listrik untuk pembatikan sebagai alternatif lain dari kompor minyak tanah yang saat ini masih banyak digunakan oleh para pembatik di Desa Kebon, Bayat, Klaten.
Peserta yang berjumlah 20 orang dari IKM batik tersebut sangat antusias mengikuti acara workshop dari awal sampai akhir. Hal itu dapat terlihat dengan beberapa komentar dan pertanyaan dari beberapa peserta terkait dengan materi yang diberikan oleh para TC. Bahkan ada beberapa IKM batik yang tertarik untuk menggunakan teknologi kompor listrik untuk pembatikan yang diproduksi oleh BBKB karena dinilai lebih efisien dan ramah lingkungan.

Networking Meeting & Technical Meeting


Kegiatan Workshop dan Technical Assitance yang telah dilakukan oleh TC CBI beberapa waktu yang lalu diketiga lokasi diantaranya Desa Kebon, Desa Beluk&Paseban dan Taman Sari, dilanjutkan dengan kegiatan Networking Meeting dengan tujuan untuk mengumpulkan perwakilan dari masing-masing clustering UKM dengan harapan dari pertemuan ini didapat manfaat hasil yang telah dilakukan dari masing-masing UKM dan faktor yang menjadi kekurangan selama pendampingan yang belum terealisasi di masing-masing UKM, sehingga dari pertemuan jejaring ini didapat langkah pasti untuk membantu dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh UKM.

SUMINAH, PENDEKAR YANG MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT

Dukuh Konang, Desa kebon, Kec. Bayat, Klaten memiliki seorang ”Pendekar”, yang mendorong pemberdayaan buruh batik. Kisah tersebut ternyata sampai di Thailand, tempat penyelenggaraan Human Home Worker Conference. Bahkan idenya direkomendasi untuk diterapkan di beberapa negara lain.

Semangat Pengrajin Batik Indonesia

Dukuh Konang, Desa kebon,  Bayat, Klaten memiliki seorang ”pendekar” yang mendorong pemberdayaan buruh batik. Kisah tersebut ternyata sampai ke Thailand, tempat penyelenggaraan Human Home Worker Conference. Bahkan idenya direkomendasikan untuk direduplikasi di beberapa negara lainnya.
Dia adalah Suminah, seorang perempuan yang hanya menyelesaikan sekolah dasar melalui ujian persamaan. Namun di balik kegarangannya ketika menagih hutang anggota, tersimpan idealisme pemberdayaan yang tiada tanding.

Keswadayaan Perempuan

Sejumlah perempuan mendatangi sebuah rumah di Dusun Kebon Konang, Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Para perempuan berpenampilan sederhana itu membawa sejumlah buku besar kumal. Setelah berkumpul, mereka membahas pembukuan kas kelompok mereka. Siapa sangka jika para ibu yang kebanyakan buruh batik itu tengah mengurus perputaran uang ratusan juta rupiah. Dengan hanya bermodal awal Rp 1 juta, kelompok perempuan buruh batik itu berhasil  mengembangkan usaha simpan pinjam hingga ratusan juta rupiah. Dalam kurun waktu 15 tahun tanpa bantuan pemerintah, mereka pun berhasil keluar dari jerat utang kepada rentenir.
Keswadayaan yang dipelopori Suminah, perempuan desa setempat, ini ditunjukkan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sido Mukti Bayat, yang beranggotakan para perempuan buruh batik.

Warga Jangan Bakar Sampah di Pemakaman

KABUPATEN KLATEN ‑ Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kabupaten Klaten dalam menghadapi musim kemarau dan ruwahan menghimbau warga yang melakukan ziarah ke makam‑makam untuk tidak membakar sampah di sembarang tempat di komplek pemakaman. Upaya itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan yang dinilai rawan pada saat sekarang ini.
"Kalau ruwahan biasanya banyak sekali orang yang berziarah untuk membersihkan komplek makam leluhurnya. Tidak jarang pula para pejiarah itu membakar sampah di komplek makam sekalipun perbuatan itu mengundang kerawanan," kata Sekretaris Paguyuban LMDH Kabupaten Klaten, Suharno, kemarin siang.

Selain komplek makam, tempat lain yang menjadi perhatian LMDH adalah tempat‑tempat keramat yang sering dijadikan warga sebagai tempat untuk mencari pesugihan. Saat mengunjungi tempat tersebut ujar dia, warga juga tidak jarang membakar sesuatu sehingga dimungkinkan terjadinya kebakaran kawasan hutan.

KEBANGKITAN USAHA KECIL MENENGAH DI KLATEN PASCA GEMPA BUMI

Saat kami sedang mengaduk adonan keripik tempe, bumi bergoncang keras dan rumah roboh. Genteng atap rumah menimpa penggorengan di atas kompor,’’ ujar Subowo (50), perajin makanan kecil di Sentra Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Gondangan, Klaten.
Gempa yang melanda Yogyakarta dan Klaten itu berdampak pada sentra-sentra industri kecil di daerah tersebut. Mereka harus memulai kembali usahanya dari nol dengan mencari pinjaman modal atau mengharap bantuan dari LSM dan pemerintah.
Subowo mengatakan tidak hanya harus membangun rumahnya yang roboh, tapi juga kembali membangkitkan usahanya yang merupakan mata pencaharian utama. Setelah gempa itu usahanya berhenti satu bulan.
‘’Beruntung kami mendapat bantuan berupa dana pendampingan dari LSM di luar negeri, sehingga para perajin di Desa Gondangan dapat memulai lagi usahanya,’’ tutur Ketua Kelompok Perajin Makanan Kecil Guna Darma itu.

MENGENANG 4 TAHUN PASCA GEMPA : Tangguh menuju Kemandirian Bersama



DIY Dalam rangka memperingati sekaligus mengenang empat tahun gempa yang melanda wilayah DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2010 silam, Pemerintah Propinsi DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah bekerja sama dengan Java Reconstruction Fund (JRF) menyelenggarakan serangkaian acara yang bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat ketangguhan dan kemandirian bersama masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta membangun kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan dalam menangani bencana.

Bank Dunia Tambah 10 Desa Yang Dapat Bantuan

KABUPATEN KLATEN (KRjogja.com) - Tahun 2010, setidaknya ada 10 desa di Kabupaten Klaten yang akan mendapatkan bantuan dana pembangunan fisik dari Bank Dunia dibawah koordinasi "Java Reconstruction Fund". Sehingga dengan adanya tambahan ini, maka sejak 2007 lalu total ada 65 desa yang sudah mendapat bantuan.
Hal itu disampaikan Kasubbid Pekerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Klaten Ir Sugeng Santoso MM kepada wartawan di sela-sela sosialisasi bantuan dari Bank Dunia di Desa Kebon Kecamatan Bayat Klaten, Selasa (26/1). Sugeng mengatakan, dari 10 desa yang akan mendapatkan dana bantuan itu namun belum bisa disebutkan desa mana saja. Sebab, masih akan diselenggarakan seleksi administrasi pada beberapa desa lain yang juga mengajukan bantuan.
"Dari 65 desa yang mendapat bantuan itu, untuk pembangunan fisik di 37 desa dibawah naungan JRF, sedang 28 desa dibawah koordinasi Bappeda. Pembagian itu berupa Bappeda memberikan fasilitas tahapan seleski administrasi dan JRF ke pembangunan fisiknya. Sementara itu, mengenai nominalnya antara satu desa dengan desa lainnya berbeda-beda. Itu disesuaikan dengan seberapa besar kerusakan fisik yang dialami desa ketika terkena gempa 2006 lalu. Selama ini rata-rata mereka mendapat bantuan antara Rp 140-700 juta," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Desa Kebon Sukoco mengungkapkan, pihaknya mengajukan bantuan dari Bank Dunia pada 2009. Desanya akan mendapat bantuan Rp 350 juta yang terbagi dalam dua termin. Termin pertama 40 persennya atau Rp 140 juta untuk 13 kegiatan. Menurutnya, Desa Kebon kondisi fisiknya bisa dikatakan 75 persen rusak setelah terkena gempa 2006 lalu. Kondisi fisik, ada yang sudah diperbaiki dengan menggunakan dana ADD atau dari PNPM. "Tapi hasilnya kurang maksimal. Makanya kami lalu mengajukan permohonan bantuan dari JRF dan ternyata lolos," tegas Sukoco. (R-6)
Sumber : KrJogja

SEJARAH BATIK INDONESIA

Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman.
Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

Desa kebon Serempak pemilihan RW dan RT

Desa kebon - Sudah tiga taun yang lalu desa kebon memilih para wakil rakyat tingkat rt dan rw dan setelah para rt dan rw terpilih melaksanakan tugasnya tiga tahun lalu hingga sekarang, saatnya momen itu terulang kembali di akhir bulan desember ini, dengan dipimpin sekdes desa kebon ( H.Suyadi ) beserta aparat desa lainnya yang sudah terbentuk susunan panitianya maka pada akhir bulan desember 2010 ini seluruh RW di Desa Kebon diakhiri masa jabatannya dan diadakan pemilihan ketua RW dan RT setempat untuk re-organisasi.

Pemungutan suara tidak dilakukan pada satu tempat di Balai Desa, namun pemilihan di adakan di RW masing-masing dengan tertib mulai dari hari pertama sampai hari terakhir. urut setiap hari 1 RW, namun uniknya pemillihannya bukan pada siang hari namun malam hari seperti pertemuan RW sebagaimana mestinya.
yang membuat aneh lagi pada pemilihan RW dan RT desa kebon tidak ada yang mencalonkan dari pihak masyarakat setempat namun para pemilih bebas memilih siapa yang ingin menjadi wakil mereka, jadi yang datang pada pemilihan itu berhak menulis calon yang\m\ereka pilih sendiri, memilih namanya sendiri juga bisa.
Alhasil semua warga sepakat selama 3 tahun kepemimpinan RT dan RW diakhiri dan diadakan pemilihan yang baru, pada pemilihan kalli ini tidak semua warga memilih atau menentukan wakil mereka, namun satu keluarga diwakili oleh 1 anggota keluarga, jadi berapa KK yang ada di desa kebon, itulah surat suara yang berhak memilih
Setelah selesai pemilihan maka pada bulan januari serentak deadakan Pelantikan ketua RW dan RT desa kebon secara serentak dan menjadi ketua RW dan RT selama 3 tahun kedepan.

Pasar Tradisional vs Pasar Modern

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat kita. Tidak hanya di kota metropolitan tetapi sudah merambah sampai kota kecil di tanah air.
Sangat mudah menjumpai minimarket, supermarket bahkan hipermarket di sekitar tempat tinggal kita. Tempat-tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya.
Namun demikian, pasar tradisional ternyata masih mampu untuk bertahan dan bersaing di tengah serbuan pasar modern dalam berbagai bentuknya.

1. Karakter/Budaya Konsumen. Meskipun informasi tentang gaya hidup modern dengan mudah diperoleh, tetapi tampaknya masyarakat masih memiliki budaya untuk tetap berkunjung dan berbelanja ke pasar tradisional. Perbedaan itulah adalah di pasar tradisional masih terjadi proses tawar-menawar harga, sedangkan di pasar modern harga sudah pasti ditandai dengan label harga.
2. Revitalisasi Pasar Tradisional. Pemerintah seharusnya serius dalam menata dan mempertahankan eksistensi pasar tradisional. Pemerintah menyadari bahwa keberadaan pasar tradisional sebagai pusat kegiatan ekonomi masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Selama ini pasar tradisional selalu identik dengan tempat belanja yang kumuh, becek serta bau, dan karenanya hanya didatangi oleh kelompok masyarakat kelas bawah. Gambaran pasar seperti di atas harus diubah menjadi tempat yang bersih dan nyaman bagi pengunjung. Dengan demikian masyarakat dari semua kalangan akan tertarik untuk datang dan melakukan transaksi di pasar tradisional.
3. Regulasi. Pemerintah memang mempunyai hak untuk mengatur keberadaan pasar tradisional dan pasar modern. Tetapi aturan yang dibuat pemerintah itu tidak boleh diskriminatif dan seharusnya justru tidak membuat dunia usaha mandek. Pedagang kecil, menengah, besar, bahkan perantara ataupun pedagang toko harus mempunyai kesempatan yang sama dalam berusaha.
MASA DEPAN PASAR TRADISIONAL
Pusat perbelajaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. Khususnya di DKI Jakarta. Di Menurut riset First Pacific Davies dalam Asia Property Focus Oktober 1996, sampai akhir tahun 1996 ini pasokan total pusat perbelanjaan di Jakarta akan mencapai 1.1 juta meter persegi dan diperkirakan akan terus tumbuh pesat mengingat masih banyak pembangunan pusat perbelanjaan yang belum selesai.
Pasar Tradisional
Diperkirakan pada tahun 1997 nanti akan bertambah 169.200 meter persegi pusat perbelanjaan baru. Pada tahun 1998 diperkirakan pasokannya akan bertambah lagi sebesar 243.000 meter persegi.
Dampak Pusat Perbelanjaan Modern
Perkembangan pusat perbelanjaan ini secara umum akan menguntungkan bagi konsumen karena semakin tersedia banyak pilihan untuk berbelanja. Persaingan yang semakin tajam antar pusat perbelanjaan dan juga antar pengecer juga akan menguntungkan karena mereka akan berusaha untuk menarik konsumen dengan memberikan pelayanan yang lebih baik.

Pasar ModernPasar Swalayan
Pusat perbelanjaan modern merupakan pesaing dan akan mengancam keberadaan pedagang di pasar tradisional. Jika dahulu pusat perbelanjaan lebih banyak ditujukan untuk penduduk berpendapatan menengah keatas. Kini mereka mulai masuk juga ke kelas menengah kebawah. Para pengecer kini juga bervariasi memasuki berbagai segmen pasar.
Keterbatasan Pasar Tradisional
Ruang bersaing pedagang pasar tradisional kini juga mulai terbatas. Kalau selama ini pasar tradisional dianggap unggul dalam memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas, dengan fasilitas berbelanja yang jauh lebih baik. Skala ekonomis pengecer modern yang cukup luas dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok penjualan mereka sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih rendah.
Sebaliknya para pedagang pasar tradisional, mereka umumnya mempunyai skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Keunggulan biaya rendah pedagang tradisional kini mulai terkikis.
Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat dari lokasi
Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus berkembang memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak dan tersebarnya lokasi pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang. Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan yang berkelanjutan.
Pasar Tradisional Terjepit
Jakarta, Kompas – Pedagang dan pasar tradisional kian terjepit oleh ekspansi usaha ritel modern. Dalam rentang waktu tahun 2003-2008, pertumbuhan gerai ritel modern fantastis, yaitu mencapai 162 persen.
Bahkan, pertumbuhan gerai minimarket mencapai 254,8 persen, yakni dari 2.058 gerai pada tahun 2003 menjadi 7.301 gerai pada tahun 2008, sementara jumlah pasar tradisional dalam kurun lima tahun tersebut cenderung stagnan.
Pesatnya pertumbuhan ritel modern itu seiring gencarnya penetrasi ritel asing ke Indonesia. Data BisInfocus 2008 menyebutkan, jika pada tahun 1970-1990 pemegang merek ritel asing yang masuk ke Indonesia hanya lima, dengan jumlah 275 gerai, tahun 2004 sudah 14 merek ritel asing yang masuk, dengan 500 gerai. Tahun 2008, merek ritel asing yang masuk sudah 18, dengan 532 gerai.
Aturan yang ada:
Sebenarnya peraturan yang mengatur tentang usaha ritel telah cukup banyak. Di tingkat pusat saja setidaknya ada 10 peraturan yang mengatur tentang usaha ritel, mulai dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 118 Tahun 2000 tentang Perubahan dari Keppres No 96/2000 tentang Sektor Usaha yang Terbuka dan Tertutup dengan Beberapa Syarat untuk Investasi Asing Langsung hingga yang terbaru, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern dan Permendag No 53/2008 tentang Pedoman Penataan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.
Ancaman nyata Pasar Modern Terhadap Pasar Tradisional
Eksistensi pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor (2004) hypermarket meru-pakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25%), koperasi (14.2%), minimarket / convenience stores (12.5%), independent grocers (8.5%), dan su-permarket (3.5%).
Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, peritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2.4% pertahun terhadap pasar tradisional. Berdasarkan survey AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa pangsa pasar dari pasar modern meningkat sebesar 11.8% selama lima tahun terakhir. tiga tahun terakhir.
Jika pangsa pasar dari pasar modern pada tahun 2001 adalah 24.8% maka pangsa pasar tersebut menjadi 32.4% tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam periode 2001 – 2006, sebanyak 11.8% konsumen ritel Indonesia telah meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern.
Sebagai bahan pertimbangan, berikut ini Media Perempuan memberikan sejumlah perbandingan untung-rugi berbelanja di pasar tradisional versus pasar modern:
1. Harga barang
Barang-barang yang dijual di pasar tradisional dan pasar modern memiliki perbedaan harga yang cukup signifikan. Harga suatu barang di pasar tradisional bahkan bisa sepertiga dari harga barang yang sama yang dijual di supermarket, terutama untuk produk-produk segar seperti sayur-mayur serta bumbu-bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, merica, cabai merah, cabai rawit, dan lain sebagainya.
2. Tawar menawar
Berbelanja di pasar tradisional memungkinkan pembeli untuk menawar harga barang-barang hingga mencapai kesepakatan dengan pedagang. Jika cukup pintar menawar, Anda bisa mendapatkan barang dengan harga yang jauh lebih murah. Sedangkan di pasar modern, pembeli tidak mungkin melakukan tawar menawar karena semua barang telah dipatok dengan harga pas.
3. Diskon
Untuk urusan diskon, sejumlah supermarket memang sering memberikan berbagai penawaran yang menggiurkan. Akan tetapi, perlu diperhatikan apakah hal tersebut merupakan rayuan terselubung (gimmick) agar pembeli bersikap lebih konsumtif. Tak jarang, orang menjadi lapar mata ketika berbelanja di supermarket dan tergoda membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan.
4. Kenyamanan berbelanja
Untuk urusan kenyamanan, berbelanja di pasar modern memang jauh lebih nyaman ketimbang berbelanja di pasar tradisional. Berbagai supermarket memiliki area yang lebih luas, bersih, rapi, dan dilengkapi dengan pendingin ruangan. Sedangkan pasar tradisional menempati area yang lebih sempit, sumpek, sesak, dan tak jarang menguarkan bau kurang sedap.
5. Kesegaran produk
Untuk produk-produk segar seperti daging, ikan, sayur-mayur, telur, dan lain sebagainya, pasar tradisional biasanya menyajikan produk yang jauh lebih segar ketimbang supermarket, karena belum ditambahkan zat pengawet. Logikanya, pedagang di pasar tradisional memiliki dana yang cukup terbatas sehingga hanya mampu membeli pasokan barang dengan jumlah tidak terlalu banyak. Dengan demikian, produk-produk yang dijual pun lebih terjaga kesegarannya.
sumber : prista

BATIK MILIK INDONESIA

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.
Jaman Penyebaran Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.
Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.
Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasnya daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
Perkembangan Batik di Kota-kota lain
Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesa-inya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menet-ap didaerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning.
Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik didaerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina disamping mereka dagang bahan batik. .
Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitara daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad ke-XIX. Perkembangan pembatikan didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.
Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kejasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya kedaerah baru itu dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk pencaharian.
Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat dari proses dan designya banyak dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.
Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-XIX dan bahwa yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.
Pada awal abad ke-XX sudah dikenal mori import dan obat-obat import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.
Demikian pila sejarah pembatikan di Purworejo bersamaan adanya dengan pembatikan di Kebumen yaitu berasal dari Yogyakarta sekitar abad ke-XI. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo dibandingkan dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya.
Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat Kebumen-Klaten yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten. Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak dikaki gunung tetapi tanahnya gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan Karesidenan Surakarta dan Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan disini sudah pasti erat hubungannya dengan sejarah kerajaan kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang ada pertilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam waktu-waktu tertentu yaitu “makam Sunan Bayat” di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan didesa Bayat ini sudah ada sejak zaman kerjaan dahulu. Pengusaha-pengusaha batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo.
Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah: PenghuluNusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah: pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.
Pemakaian obat-obat import di Kebumen dikenal sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia yang akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena menghemat waktu. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta. Daerah pembatikan di Kebumen ialah didesa: Watugarut, Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.
Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita yang turun-temurun dari terdahulu, maka diperkirakan didaerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman “Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum didapat disana yang berguna un-tuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih ada pembatikan dikerja-kan ialah: Wurug terkenal dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota.
Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak dipinggir kota Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-XVII dan awal abad ke-XVIII akibat dari peperangan antara kerajaan di Jawa Tengah, maka banyak dari penduduk daerah: Tegal, Pekalongan, Ba-nyumas dan Kudus yang merantau kedaerah Barat dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju kearah Barat sambil berdagang batik. Dengan datangnya penduduk baru ini, dikenallah selanjutnya pembutan baik memakai soga yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna.
Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-XIX setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap didaerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau dengan keluargany a dan ditempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan sebagainya.
Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna Garutan. Sampai awal-awal abad ke-XX pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik ada kaintannya dengan kerajaan yang ada di aerah ini, yaitu Kanoman, Kasepuahn dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon, kasusnya sama seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik muncul lingkungan kraton, dan dibawa keluar oleh abdi dalem yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman dulu senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang katun, lukisan itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu terjadi sekitar abad ke-XIII. Ini ada kaitannya dengan corak-corak batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan sebagaian besar bermotifkan gambar yang lambang hutan dan margasatwa. Sedangkan adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam pemikiran Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang bergambar garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo.
Pembatikan di Jakarta
Pembatikan di Jakarta dikenal dan berkembangnya bersamaan dengan daerah-daerah pembatikan lainnya yaitu kira-kira akhir abad ke-XIX. Pembatikan ini dibawa oleh pendatang-pendatang dari Jawa Tengah dan mereka bertempat tinggal kebanyakan didaerah-daerah pembatikan. Daerah pembatikan yang dikenal di Jakarta tersebar didekat Tanah Abang yaitu: Karet, Bendungan Ilir dan Udik, Kebayoran Lama, dan daerah Mampang Prapatan serta Tebet.
Jakarta sejak zaman sebelum perang dunia kesatu telah menjadi pusat perdagangan antar daerah Indonesia dengan pelabuhannya Pasar Ikan sekarang. Setelah perang dunia kesatu selesai, dimana proses pembatikan cap mulai dikenal, produksi batik meningkat dan pedagang-pedagang batik mencari daerah pemasaran baru. Daerah pasaran untuk tekstil dan batik di Jakarta yang terkenal ialah: Tanah Abang, Jatinegara dan Jakarta Kota, yang terbesar ialah Pasar Tanah Abang sejak dari dahulu sampai sekarang. Batik-batik produksi daerah Solo, Yogya, Banyumas, Ponorogo, Tulungagung, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon serta lain-lain daerah, bertemu di Pasar Tanah Abang dan dari sini baru dikirim kedaerah-daerah diluar Jawa. Pedagang-pedagang batik yang banyak ialah bangsa Cina dan Arab, bangsa Indonesia sedikit dan kecil.
Oleh karena pusat pemasaran batik sebagian besar di Jakarta khususnya Tanah Abang, dan juga bahan-bahan baku batik diperdagangkan ditempat yang sama, maka timbul pemikiran dari pedagang-pedagang batik itu untuk membuka perusahaan batik di Jakarta dan tempatnya ialah berdekatan dengan Tanah Abang. Pengusaha-pengusaha batik yang muncul sesudah perang dunia kesatu, terdiri dari bangsa cina, dan buruh-buruh batiknya didatangkan dari daerah-daerah pembatikan Pekalongan, Yogya, Solo dan lain-lain. Selain dari buruh batik luar Jakarta itu, maka diambil pula tenaga-tenaga setempat disekitar daerah pembatikan sebagai pembantunya. Berikutnya, melihat perkembangan pembatikan ini membawa lapangan kerja baru, maka penduduk asli daerah tersebut juga membuka perusahaan-perusahaan batik. Motif dan proses batik Jakarta sesuai dengan asal buruhnya didatangkan yaitu: Pekalongan, Yogya, Solo dan Banyumas.
Bahan-bahan baku batik yang dipergunakan ialah hasil tenunan sendiri dan obat-obatnya hasil ramuan sendiri dari bahan-bahan kayu mengkudu, pace, kunyit dan sebagainya. Batik Jakarta sebelum perang terkenal dengan batik kasarnya warnanya sama dengan batik Banyumas. Sebelum perang dunia kesatu bahan-bahan baku cambric sudah dikenal dan pemasaran hasil produksinya di Pasar Tanah Abang dan daerah sekitar Jakarta.
Pembatikan di Luar Jawa
Dari Jakarta, yang menjadi tujuan pedagang-pedagang di luar Jawa, maka batik kemudian berkembang di seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia yang ada di luar Jawa, daerah Sumatera Barat misalnya, khususnya daerah Padang, adalah daerah yang jauh dari pusat pembatikan dikota-kota Jawa, tetapi pembatikan bisa berkembang didaerah ini.
Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum perang dunia kesatu, terutama batik-batik produksi Pekalongan (saaingnya) dan Solo serta Yogya. Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan yang terkenal “tenun Silungkang” dan “tenun plekat”. Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang, dimana sejak putusnya hubungan antara Sumatera dengan Jawa waktu pendudukan Jepang, maka persediaan-persediaan batik yang ada pada pedagang-pedagang batik sudah habis dan konsumen perlu batik untuk pakaian sehari-hari mereka. Ditambah lagi setelah kemerdekaan Indonesia, dimana hubungan antara kedua pulau bertambah sukar, akibat blokade-blokade Belanda, maka pedagang-pedagang batik yang biasa hubungan dengan pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri.
Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari batik-batik yang dibuat di Jawa, maka ditirulah pembuatan pola-polanya dan ditrapkan pada kayu sebagai alat cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil buatan sendiri yaitu dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir, damar dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain: Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948 Sdr. Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab. Setelah daerah Padang serta kota-kota lainnya menjadi daerah pendudukan tahun 1949, banyak pedagang-pedagang batik membuka perusahaan-perusahaan/bengkel batik dengan bahannya didapat dari Singapore melalui pelabuhan Padang dan Pakanbaru. Tetapi pedagang-pedagang batik ini setelah ada hubungan terbuka dengan pulau Jawa, kembali berdagang dan perusahaanny a mati.
Warna dari batik Padang kebanyakan hitam, kuning dan merah ungu serta polanya Banyumasan, Indramajunan, Solo dan Yogya. Sekarang batik produksi Padang lebih maju lagi tetapi tetap masih jauh dari produksi-produksi dipulau Jawa ini. Alat untuk cap sekarang telah dibuat dari tembaga dan produksinya kebanyakan sarung.

sumber : bioman


Kali Dengkeng Meluap lagi

Cuaca pada akhir-akhir ini yang kurang begitu di inginkan membuat repot banyak orang, apalagi pada beberapa hari ini terjadi hujan lebat pada siang menjelang sore hari, tak beda di desa kebon pun terkena dampak dari semua itu…..
hujan lebat yang mengguyur desa kebon dan sekitarnya pada awal tahun 2011 yaitu pada hari senin, 3 januari 2011 menyebabkan sungai Dengkeng yang terletak diantara desa Jotangan dan kebon dan sekitarnya mengalami peningkatan yang sangat signifikan dan menyebabkan sungai tersebut meluap, luapan sungai dengkeng ( kali dengkeng ) menyebabkan desa-desa yang letaknya disepanjang kali dengkeng terkena imbasnya alias kebanjiran.
namun luapan kali dengkeng pada hari senin tanggal 3 januari 2011 tak sedasyat luapan kali dengkeng pada tanggal 4 November 2010 yang lumayan dasayat sampai jalan-jalan diwilayak desa kebon bagian barat ( rt 1 dan 3 di RW 2 ) ada beberapa rumah yang terkena imbasnya pada tanggal 4 November 2010.
namun luapan air pada senin kemarin tak menyebabkan kerusakan atau imbas yang cukup berat hanya saja di RT 1 RW 2 ada satu jalan yang terkena dampak dari luapan sungai dengkeng ( kali dengkeng ). belum juga surut banjir yang masuk diperkebunan warga yang kebetulan tanahnya rendah pada hari selasa 4 Januari 2011 desa kebon diguyur hujan lagi, hujan dengan intensitas yang cukup deras menyebabkan kali dengkeng meluap namun tidak sampai membuat dampak yang menakutkan bagi warga kebon yang tinggal di Pinggiran kali dengkeng.
pesan dari penulis dari kejadian diatas kita jagalah ksehatran diri kita karena cuaca yang begini dan jagalah kesehatan dengan lingkungan yang kiurang sehat karena banyak kotoran yang terbawa dari luapan air dari kali dengkeng. ( by : rifan )

Pasar Ekspor Mulai Melirik Batik Pewarna Alami Desa Kebon

Perindustrian batik dengan pewarna alam yang dirintis pascagempa tahun 2006 lalu, kini mulai dilirik pasar mancanegara. Proses pembuatan yang alami membuat batik ini mulai menggeser keberadaan batik tulis maupun batik cap.
Industri batik dengan pewarna alam yang ada di Desa Kebon, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, mulai menggeliat. Warga desa yang sebelumnya hanya menjadi buruh batik pengusaha besar kini banyak yang sudah berhasil membangun usaha sendiri.
Salah seorang ketua kelompok batik Desa Kebon, Sri Windarti, menjelaskan batik tulis pewarna alami saat ini memang laris di pasar internasional karena ramah lingkungan. Proses pewarnaan batik yang sebelumnya menggunakan obat-obatan kimia kini telah berganti dengan aneka tumbuh-tumbuhan alami.
Kelompok batik di desa itu selama ini mendapatkan pembinaan dan pendampingan dari lembaga donor Uni Eropa.
Sebagai strategi pengembangan industri batik ramah lingkungan masing- masing anggota lembaga donor berkomitmen mempromosikan produk batik pewarna alami ini ke asal negara masing- masing.
Usaha batik ramah lingkungan itu saat ini sudah memiliki lima kelompok dengan total anggota lebih dari 150 orang pembatik
sumber : griya wisata

DESA PENGHASIL BATIK TULIS RAMAH LINGKUNGAN

Batik Desa Kebon yang menggunakan pewarna alami Batik merupakan salah satu karya seni terkemuka di seluruh nusantara dan tela...